FAKTOR-FAKTOR
YANG MENYEBABKAN TIMBULNYA ANARKIS
ANARKIS ATAU PASIFIS
Secara logis sebenarnya bisa dikatakan, bahwa tindakan anarkis akan
menurun drastis bila frekuensi kemunculan perilaku kolektif juga ditekan
habis-habisan. Dalam hal ini, yang paling efektif melakukan tekanan itu
sebenarnya anggota masyarakat sendiri, dan bukan polisi, mengingat perilaku
kolektif bisa muncul dimana saja kapan saja secara tak terduga padahal polisi
tidak mungkin berada dimana-mana. Terlebih lagi bila diingat bahwa masyarakat
Indonesia termasuk tipe masyarakat yang mudah terbawa atau hanyut dalam
perilaku kolektif.
Cara masyarakat melakukan
tekanan itu adalah sebagai berikut: dengan
tidak mudah kehilangan rasionalitas, dan selanjutnya mengadakan
penolakan berbasis individual terhadap dorongan itu.
Terhadap kecenderungan menyambut
ajakan perilaku kolektif tersebut, yang masih saja menjadi misteri dari suatu
tindak anarkis adalah sebagai berikut: Bila situasi anarkis adalah titik
ekstrim dari perilaku kolektif, maka situasi pasifis (situasi aman dan tenang)
adalah titik ekstrim lainnya. Bila perilaku sosial (perilaku menyimpang dan melanggar) adalah titik
ekstrim, maka seharusnyalah perilaku pro-sosial (seperti perilaku menolong
tanpa pamrih atau mengorbankan diri untuk orang lain) adalah ekstrim lainnya
dari perilaku kolektif. Baik situasi pasifis dan perilaku pro-sosial, dengan demikian,
mestinya sama potensialnya untuk muncul dibanding situasi anarkis dan perilaku sosial.
Permasalahannya adalah: mengapa
yang selalu muncul adalah situasi anarkis dan perilaku sosial? Mengapa pada
saat ada seseorang yang menganjurkan untuk anarkis, ternyata tidak ada (atau
sedikit sekali) orang yang minimal berkata ”jangan” ? Padahal, di pihak lain,
bisa diduga bahwa sebagian kecil atau sebagian besar peserta dari kelompok
anarkis itu adalah orang-orang yang juga terdidik, memiliki sopan-santun, datang
dari keluarga kelas menengah, menjalankan ibadah agama, telah menikah dan
memiliki anak hingga juga menduduki status sosial tertentu di masyarakat.
Beberapa faktor itu, selama ini
kita yakini sebagai yang memberdayakan orang untuk menciptakan situasi pasifis
dan melakukan tindakan pro-sosial. Nyatanya, untuk konteks Indonesia, hal-hal
tersebut tidak ampuh sama sekali dalam menghadapi faktor tekanan kelompok (peer pressure) yang menganjurkan anarki
tadi.
KEYAKINAN BERSAMA
Salahsatu kontributor dari
munculnya tindakan anarkis adalah adanya keyakinan/anggapan/perasaan bersama (collective belief). Keyakinan bersama
itu bisa berbentuk, katakanlah, siapa yang cenderung dipersepsi sebagai maling
(dan olehkarenanya diyakini “pantas” untuk digebuki) ; atau situasi apa yang
mengindikasikan adanya kejahatan (yang lalu diyakini pula untuk ditindaklanjuti
dengan tindakan untuk, katakanlah, melawan).
Perasaan tidak aman atau rasa takut pada kejahatan pada
umumnya juga diakibatkan oleh diyakininya perasaan bersama tersebut, terlepas
dari ada-tidaknya fakta yang mendukung perasaan tadi.
Media massa dalam hal ini amat efektif menanamkan citra,
persepsi, pengetahuan ataupun pengalaman bersama tadi. Maka, sesuatu yang
mulanya kasus individual, setelah disebarluaskan oleh media-massa lalu menjadi
pengetahuan publik dan siap untuk disimpan dalam memori seseorang. Memori
tersebut pada suatu waktu kelak dapat dijadikan referensi oleh yang
bersangkutan dalam memilih model perilaku.
KELOMPOK TERORGANISIR
Anarki, sebagaimana telah disinggung
di atas, dilakukan dalam rangka perilaku
kolektif oleh massa yang spontan berkumpul dan, sepanjang diupayakan, dapat
dengan mudah cair kembali. Dengan demikian, secara kepolisian, memang relatif
lebih mudah memecah-belah massa dari tipe ini sepanjang tersedia perkuatan (enforcement) yang cukup.
Yang jauh lebih merepotkan
adalah, bila anarki dilakukan oleh orang-orang dari kelompok tertentu yang
terorganisasi, memiliki motif militan dan radikal serta membawa senjata (atau
benda-benda lain yang difungsikan sebagai senjata). Pelakunya juga bisa datang
dari suatu komunitas yang, katakanlah, telah terinternalisasi dengan nilai dan
ide kekerasan sebagaimana disebut di atas dan menjadi radikal karenanya.
KETIDAKPERCAYAAN PADA HUKUM
Sering dikatakan, tindakan
anarkis itu identik dengan ketidakpercayaan pada polisi. Daripada menyerahkan
segala sesuatunya kepada polisi dengan kemungkinan tidak mendapatkan keadilan
sebagaimana dipersepsikan, maka lebih baik merekalah yang menjadi polisi, jaksa
sekaligus hakimnya.
Perihal ketidakpercayaan itu,
diduga bisa benar namun bisa pula tidak. Dikatakan benar karena, betapapun hendak
disangkal, nyatanya ada saja oknum polisi yang menyalahgunakan wewenangnya.
Alih-alih melakukan penyidikan dan pemberkasan, yang kemudian terjadi adalah
transaksi uang dari tersangka kepada oknum polisi tersebut agar bisa ditahan
luar atau bahkan ditangguhkan perkaranya.
Tetapi hal itu bisa pula dikatakan tidak benar, mengingat yang sebenarnya
dikeluhkan oleh para anarkis tadi adalah “kinerja hukum pada umumnya yang tidak
memenuhi harapan”.
Ada dua factor utama yang merupakan dua faktor faktor
penyebab terjadinya anarkisme.
1.
Faktor Internal
Salah satu faktor yang amat mempengaruhi peubahan karakter masyarakat yang cenderung anarkis yakni faktor dari dalam masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini anarkisme sebenarnya tidak murni hasil sumbangan budaya barat yang tidak mengenal sopan santun, namun juga sebenarnya telah berkembang dimasyarakat kita sejak zaman kerajaan atau pra-kolonial. Kita dapat mengambil contoh perang suku di Papua yang disinyalir menjadi ritual wajib dalam kebudayaan masyarakat sana. Adapun secara kultural, kita dapat mengkaji bahwa, anarkisme awalnya terbentuk dari sebuah gesekan antar suku, namun seiring dengan pola kultural yang berlaku di masyarakat papua tersebut, hal itu telah menjadi sebuah kebiasaan yang terus menerus dilakukan yang akhirnya menciptakan sebuah budaya baru. Yakni budaya kekerasan yang terjadi di kalangan masyarakat papua. Dari contoh tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa budaya kekerasan sendiri sebenarnya telah dimiliki oleh masyarakat kita sebagai sisi lain dari budaya ramah tamah yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia pada umunya.
Salah satu faktor yang amat mempengaruhi peubahan karakter masyarakat yang cenderung anarkis yakni faktor dari dalam masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini anarkisme sebenarnya tidak murni hasil sumbangan budaya barat yang tidak mengenal sopan santun, namun juga sebenarnya telah berkembang dimasyarakat kita sejak zaman kerajaan atau pra-kolonial. Kita dapat mengambil contoh perang suku di Papua yang disinyalir menjadi ritual wajib dalam kebudayaan masyarakat sana. Adapun secara kultural, kita dapat mengkaji bahwa, anarkisme awalnya terbentuk dari sebuah gesekan antar suku, namun seiring dengan pola kultural yang berlaku di masyarakat papua tersebut, hal itu telah menjadi sebuah kebiasaan yang terus menerus dilakukan yang akhirnya menciptakan sebuah budaya baru. Yakni budaya kekerasan yang terjadi di kalangan masyarakat papua. Dari contoh tersebut kita dapat mengambil kesimpulan bahwa budaya kekerasan sendiri sebenarnya telah dimiliki oleh masyarakat kita sebagai sisi lain dari budaya ramah tamah yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia pada umunya.
2.
Faktor eksternal
Globalisiasi. Sebuah kata kunci untuk mengambarkan bagaimana sebenarnya pergerseran budaya menjadi faktor eksternal dari perilaku anarkis yang selama ini terjadi. Faktor internal telah menjadi fondasi dasar atas perilaku anarkis yang berkembang di masyarakat. Disamping itu, globalisasi telah menyusupkan sebuah virus negatif sebagai sisi lain dari kemajuan zaman yang ia gaungkan. Dalam hal ini, budaya barat sebenarnya tidak murni mengharapkan terjadinya pergeseran budaya dimasyarakat kita. Namun proses filterisasi atau pemaknaan yang salah atas budaya barat yang masuk ke budaya kita menyebabkan terjadinya akulturasi yang tidak sempurna, bahkan menjurus negatif. Sebagai contoh ketika budaya sosialisme yang disalah artikan oleh lenin menjadi sebuah komunisme-leninisme. Dalam hal tersebut, sebenarnya sosialisme yang digambarkan oleh marx adalah sebuah kesetaraan sosial. Namun oleh lenin diubah sebagai cara untuk menyetarakan masyarakat dengan jalan apapun, termasuk anarkisme. Dalam kaitannya dengan masyarakat kita, hal tersebut juga terjadi dalam proses akulurasi budaya barat dengan budaya kita. Kebanyakan masyarakat hanya mengambil kesimpulan dangkal atas suatu paham dari budaya barat, tanpa menyaring budaya tersebut agar dapat sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat kita.
Globalisiasi. Sebuah kata kunci untuk mengambarkan bagaimana sebenarnya pergerseran budaya menjadi faktor eksternal dari perilaku anarkis yang selama ini terjadi. Faktor internal telah menjadi fondasi dasar atas perilaku anarkis yang berkembang di masyarakat. Disamping itu, globalisasi telah menyusupkan sebuah virus negatif sebagai sisi lain dari kemajuan zaman yang ia gaungkan. Dalam hal ini, budaya barat sebenarnya tidak murni mengharapkan terjadinya pergeseran budaya dimasyarakat kita. Namun proses filterisasi atau pemaknaan yang salah atas budaya barat yang masuk ke budaya kita menyebabkan terjadinya akulturasi yang tidak sempurna, bahkan menjurus negatif. Sebagai contoh ketika budaya sosialisme yang disalah artikan oleh lenin menjadi sebuah komunisme-leninisme. Dalam hal tersebut, sebenarnya sosialisme yang digambarkan oleh marx adalah sebuah kesetaraan sosial. Namun oleh lenin diubah sebagai cara untuk menyetarakan masyarakat dengan jalan apapun, termasuk anarkisme. Dalam kaitannya dengan masyarakat kita, hal tersebut juga terjadi dalam proses akulurasi budaya barat dengan budaya kita. Kebanyakan masyarakat hanya mengambil kesimpulan dangkal atas suatu paham dari budaya barat, tanpa menyaring budaya tersebut agar dapat sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat kita.
Dari kedua faktor tersebut dapat kita simpulkan bahwa anarkisme
yang terjadi dimasyarakat kita saat ini didasari oleh budaya kekerasan yang ada
didalam masyarakat kita dan kemudian dipelrngkap oleh pergeseran budaya oleh
karena proses akulturasi yang tidak sempurna atau dapat dikatakan sebagai efek
negatif dari globalisasi. Dengan
menanamkan kembali nilai-nilai ketimuran dari budaya kita semenjak usia dini
(masa sekolah), sekiranya dapat mengurangi sedkit demi sedikit budaya kekerasan
yang terjadi dimasyarakat kita saat ini. Selain itu pentingnya pengawasan dalam
proses akulurasi budaya barat, misal dalam dunia penyiaran, KPI berhak
menseleksi tayangan dari luar yang tepat bagi masyarakat kita sebagai langkah
filterisasi budaya barat agar tercipta akuluturasi yang positif. Jika kedua hal
tersebut dapat direalisasikan, maka secara bertahap anarkisme akan berkurang
dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
SUMBER: www.google.com dan www.wikipedia.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar