Nama kota Jakarta pertama kali dikenal
sebagai salah satu pelabuhan Kerajaan Sunda yang bernama Sunda Kalapa, berlokasi di muara Sungai Ciliwung. Menurut sumber Portugis, Sunda Kalapa
merupakan salah satu pelabuhan yang dimiliki Kerajaan Sunda selain pelabuhan Banten, Pada abad ke-12,
pelabuhan ini dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk. Kapal-kapal asing yang
berasal dari Tiongkok, Jepang, India Selatan,
dan Timur Tengah sudah berlabuh di
pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain,
wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah
yang menjadi komoditas dagang saat itu.
Jayakarta
Pada tahun 1527-1619 bangsa Portugis merupakan Bangsa Eropa pertama
yang datang ke Jakarta. Pada abad ke-16, Surawisesa, raja Sunda meminta bantuan Portugis yang ada di
Malaka untuk mendirikan benteng di Sunda Kelapa sebagai perlindungan dari
kemungkinan serangan Cirebon yang akan memisahkan diri dari Kerajaan Sunda. Penetapan hari jadi Jakarta tanggal 22 Juni oleh Sudiro,
wali kota Jakarta, pada tahun 1956 adalah berdasarkan tragedi pendudukan
pelabuhan Sunda Kalapa oleh Fatahillah pada tahun 1527.
Fatahillah mengganti nama kota tersebut menjadi Jayakarta yang berarti "kota kemenangan".
Selanjutnya Sunan Gunung Jati dariKesultanan Cirebon,
menyerahkan pemerintahan di Jayakarta kepada putranya yaitu Maulana Hasanuddin dari Banten yang
menjadi sultan di Kesultanan Banten.
Batavia
Tahun 1619-1942 orang Belanda datang ke Jayakarta sekitar akhir abad ke-16,
setelah singgah di Banten pada tahun 1596.
Jayakarta pada awal abad ke-17 diperintah oleh Pangeran Jayakarta, salah
seorang kerabat Kesultanan Banten.
Pada 1619, VOC dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen menduduki
Jayakarta setelah mengalahkan pasukan Kesultanan Banten dan kemudian mengubah namanya
menjadi Batavia. Waktu itu luas Batavia hanya mencakup daerah yang
saat ini dikenal sebagai Kota Tua di Jakarta Utara.
Jakarta
Pada tahun 1942 saat Indonesia masih dijajah oleh Jepang, dimulai
pada tahun 1942 dan mengganti nama Batavia menjadi Djakarta untuk menarik hati
penduduk pada Perang Dunia II. Kota ini
juga merupakan tempat dilangsungkannya Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan diduduki Belanda sampai pengakuan
kedaulatan tahun 1949.
Sebelum tahun 1959, Djakarta merupakan bagian
dari Provinsi Jawa Barat. Pada tahun 1959, status Kota Djakarta mengalami
perubahan dari sebuah kotapraja di bawah wali kota ditingkatkan menjadi daerah
tingkat satu (Dati I) yang dipimpin oleh gubernur. Yang menjadi gubernur
pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo,
seorang dokter tentara. Pengangkatan Gubernur DKI waktu itu dilakukan langsung
oleh Presiden Sukarno. Pada tahun 1961, status Jakarta diubah dari Daerah
Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibukota (DKI) dan gubernurnya tetap dijabat
oleh Sumarno.
Ekonomi
Kota Jakarta merupakan kota dengan tingkat
pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Saat ini, lebih dari 70% uang negara
beredar di Jakarta. Perekonomian Jakarta terutama ditunjang oleh sektor
perdagangan, jasa, properti, industri kreatif, dan keuangan. Pada tahun 2012,
pendapatan per kapita masyarakat Jakarta sebesar Rp 110,46 juta per tahun (USD
12,270). Sedangkan untuk kalangan menengah atas dengan penghasilan Rp
240,62 juta per tahun (USD 26,735), mencapai 20% dari jumlah penduduk. Di sini
juga bermukim lebih dari separuh orang-orang kaya di Indonesia dengan
penghasilan minimal USD 100,000 per tahun. Kekayaan mereka terutama ditopang
oleh kenaikan harga saham serta properti yang cukup signifikan. Saat ini
Jakarta merupakan kota dengan tingkat pertumbuhan harga properti mewah yang
tertinggi di dunia, yakni mencapai 38,1%. Selain hunian mewah, pertumbuhan
properti Jakarta juga ditopang oleh penjualan dan penyewaan ruang kantor. Pada
periode 2009-2012, pembangunan gedung-gedung pencakar langit (di atas 150
meter) di Jakarta mencapai 87,5%. Hal ini telah menempatkan Jakarta sebagai
salah satu kota dengan pertumbuhan pencakar langit tercepat di dunia.
Transportasi
Di kota Jakarta, tersedia jaringan jalan raya
dan jalan tol yang melayani seluruh kota, namun perkembangan
jumlah mobil dengan jumlah jalan sangatlah timpang (5-10% dengan 4-5%).
Untuk melayani mobilitas penduduk Jakarta,
pemerintah menyediakan sarana bus PPD.
Selain itu terdapat pula bus kota yang dikelola oleh pihak swasta, seperti
Mayasari Bhakti, Metro Mini, Kopaja, dan Bianglala. Bus-bus ini melayani rute
yang menghubungkan terminal-terminal dalam kota, antara lain Pulogadung,
Kampung Rambutan, Blok M, Kalideres, Grogol, Tanjung Priok, Lebak Bulus,
Rawamangun, dan Kampung Melayu.
Untuk angkutan lingkungan, terdapat angkutan
kota seperti Mikrolet dan KWK, dengan rute dari terminal ke lingkungan sekitar
terminal. Selain itu ada pula ojek, bajaj,
dan bemo untuk angkutan jarak pendek. Tidak seperti wilayah
lainnya di Jakarta yang menggunakan sepeda motor, di kawasan Tanjung Priok dan
Jakarta Kota, pengendara ojek menggunakan sepeda ontel. Angkutan becak masih
banyak dijumpai di wilayah pinggiran Jakarta seperti di Bekasi, Tangerang, dan
Depok.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memulai
pembangunan kereta bawah tanah (subway)
pada 2 Mei 2013 yang dananya diperoleh dari pinjaman lunak negara Jepang.
Subway jalur Lebak Bulus hingga Bundaran Hotel
Indonesia sepanjang 15 km ditargetkan beroperasi pada 2017. Jalur kereta
monorel juga sedang dipersiapkan melayani jalur Semanggi - Roxy yang dibiayai
swasta dan jalur Kuningan - Cawang - Bekasi - Bandara Soekarno Hatta yang
dibiayai pemerintah pusat. Untuk lintasan kereta api, pemerintah pusat sedang menyiapkandouble track pada jalur lintasan
kereta api Manggarai-Cikarang. Selain itu juga, saat ini sedang
dibangun jalur kereta api dari Manggarai menuju Bandara Soekarno-Hatta di
Cengkareng.
Agama
Agama yang
dianut oleh penduduk di kota Jakarta beragam. Menurut data pemerintah DKI pada
tahun 2005, komposisi penganut agama di kota ini adalah Islam (84,4%), Kristen Protestan (6,2 %), Katolik (5,7 %), Hindu (1,2 %), dan Buddha (3,5 %). Jumlah umat Buddha terlihat lebih
banyak karena umat Konghucu juga ikut tercakup di dalamnya. Angka ini tidak jauh berbeda
dengan keadaan pada tahun 1980, dimana umat Islam berjumlah 84,4%; diikuti oleh
Protestan (6,3%), Katolik (2,9%), Hindu dan Buddha (5,7%), serta Tidak beragama
(0,3%). Menurut Cribb, pada tahun 1971 penganut agama Kong Hu Cu secara relatif adalah 1,7%. Pada tahun 1980 dan 2005, sensus
penduduk tidak mencatat agama yang dianut selain keenam agama yang
diakui pemerintah.
Etnis
Berdasarkan
sensus penduduk tahun 2000,
tercatat bahwa penduduk Jakarta berjumlah 8,3 juta jiwa yang terdiri dari orang Jawa sebanyak 35,16%, Betawi(27,65%), Sunda (15,27%), Tionghoa (5,53%), Batak (3,61%), Minangkabau (3,18%), Melayu (1,62%), Bugis (0,59%), Madura (0,57%), Banten (0,25%), danBanjar (0,1%).
Jumlah
penduduk dan komposisi etnis di Jakarta, selalu berubah dari tahun ke tahun.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, tercatat bahwa setidaknya terdapat
tujuh etnis besar yang mendiami Jakarta. Suku Jawa merupakan etnis terbesar dengan populasi 35,16% penduduk
kota. Etnis Betawi berjumlah 27,65% dari penduduk kota. Pembangunan Jakarta
yang cukup pesat sejak awal tahun 1970-an, telah banyak menggusur perkampungan
etnis Betawi ke pinggiran kota. Pada tahun 1961, orang Betawi masih membentuk
persentase terbesar di wilayah pinggiran seperti Cengkareng, Kebon Jeruk, Pasar Minggu,
dan Pulo Gadung.
Orang Tionghoa telah hadir di Jakarta sejak abad ke-17. Mereka biasa tinggal
mengelompok di daerah-daerah permukiman yang dikenal dengan istilah Pecinan. Pecinan atau Kampung Cina dapat
dijumpai di Glodok, Pinangsia,
dan Jatinegara, selain
perumahan-perumahan baru di wilayah Kelapa Gading, Pluit,
danSunter.
Orang Tionghoa banyak yang berprofesi sebagai pengusaha atau pedagang. Disamping etnis Tionghoa, etnis Minangkabau juga banyak yang berdagang, di antaranya perdagangan grosir
dan eceran di pasar-pasar tradisional kota Jakarta.
Masyarakat
dari Indonesia Timur, terutama etnis Bugis, Makassar, dan Ambon, terkonsentrasi
di wilayah Tanjung Priok.
Di wilayah ini pula, masih banyak terdapat masyarakat keturunan Portugis, serta
orang-orang yang berasal dari Luzon, Filipina.
Geografi
Kota Jakarta
berlokasi di sebelah utara Pulau Jawa, di muara Ciliwung, Teluk Jakarta. Jakarta
terletak di dataran rendah pada ketinggian rata-rata 8 meter dpl. Hal ini mengakibatkan Jakarta sering
dilanda banjir. Sebelah selatan Jakarta merupakan daerah pegunungan dengan
curah hujan tinggi. Jakarta dilewati oleh 13 sungai yang semuanya bermuara ke Teluk Jakarta. Sungai
yang terpenting ialah Ciliwung, yang membelah kota menjadi dua. Sebelah timur
dan selatan Jakarta berbatasan dengan provinsi Jawa Barat dan di sebelah barat berbatasan dengan provinsi Banten.
Iklim
Jakarta memiliki suhu udara yang panas dan kering atau
beriklim tropis. Terletak di bagian barat Indonesia, Jakarta mengalami puncak
musim penghujan pada bulan Januari dan Februari dengan rata-rata curah hujan
350 milimeter dengan suhu rata-rata 27 °C. Curah hujan antara bulan
Januari dan awal Februari sangat tinggi, pada saat itulah Jakarta dilanda
banjir setiap tahunnya, dan puncak musim kemarau pada bulan Agustus dengan
rata-rata curah hujan 60 milimeter . Bulan September dan awal oktober adalah
hari-hari yang sangat panas di Jakata, suhu udara dapat mencapai 40 °C.
Suhu rata-rata tahunan berkisar antara 25°-38 °C (77°-100 °F).
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar